Balita Gaza Selamat dari Maut, Kisah Haru Evakuasi ke Italia

**Tragedi Gaza: Balita Shamm, Wajah Kelaparan yang Mengguncang Dunia**

Kisah pilu Shamm Qudeih, balita dua tahun asal Gaza, menyita perhatian dunia. Tubuhnya yang kurus kering akibat malnutrisi parah, tulang menonjol di balik kulit yang teramat tipis, menjadi cerminan krisis kemanusiaan yang mencekik wilayah tersebut. Kondisi Shamm menggambarkan penderitaan ribuan anak Palestina yang terancam kelaparan.

Evakuasi ke Italia menjadi secercah harapan. Saat tiba, berat badan Shamm hanya 4 kilogram, jauh di bawah standar anak seusianya. Dokter Daniele de Brasi dari Rumah Sakit Anak Santobono Pausilipon menggambarkan kondisi awal Shamm sebagai “sangat serius dan menantang.” Setelah perawatan intensif selama sebulan, berat badannya meningkat menjadi 5,5 kilogram. Kini, Shamm mulai tersenyum, merespon panggilan ibunya dan kakaknya.

Baca Juga :  Pengganti Ishiba: Pertempuran Sengit di Partai LDP, Siapa yang Berkuasa?

“Ketika datang, kondisinya sangat serius dan menantang,” jelas Dr. Daniele de Brasi.

Perawatan Shamm di Italia meliputi terapi nutrisi lewat selang pada malam hari, dan bubur, ikan, serta daging pada siang hari—makanan yang tak terjangkau di Gaza. Ibunya, Islam, menceritakan kesulitan yang dialami keluarganya. Mereka berpindah-pindah tenda hingga 15 kali, tanpa akses makanan bergizi dan perawatan medis memadai.

Baca Juga :  Kapal Kemanusiaan Tantang Blokade Gaza: Mandela Dukung Armada Spanyol

“Lingkungan tempat Shamm harus hidup benar-benar memengaruhinya. Tidak ada kemungkinan apa pun untuk memberikan perawatan yang layak,” ungkap Islam.

Kakak Shamm, Judi (10 tahun), juga mengalami kekurangan gizi. Setelah dievakuasi, berat badannya bertambah dua kilogram. Perbedaan mencolok antara kondisi mereka di Italia dan di Gaza menggambarkan betapa parah krisis di sana.

Kasus Shamm hanyalah sebagian kecil dari masalah besar. Data PBB pada Juli menunjukkan hampir 12.000 anak di bawah lima tahun di Gaza menderita malnutrisi akut, lebih dari 2.500 diantaranya dalam kondisi kritis. WHO memperkirakan angka sebenarnya jauh lebih tinggi. Ironisnya, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menolak mengakui adanya kelaparan massal di Gaza, mengklaim bahwa bantuan telah cukup tersedia. Realitas di lapangan, seperti yang dialami Shamm dan keluarganya, mengatakan sebaliknya. Krisis malnutrisi akut di Gaza membutuhkan perhatian serius dan solusi segera dari komunitas internasional. Nasib anak-anak Gaza tergantung pada tindakan nyata, bukan sekadar klaim.

Baca Juga :  Tragedi Gaza: Serangan Udara Israel Tewaskan 17, Anak-Anak Jadi Korban

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *