KABARREPULIK.ID – Delapan tahun pasca temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI atas proyek jalan Rumbia–Buyat I tahun 2017, kerugian negara sebesar Rp2,5 miliar tak kunjung dikembalikan.
Fakta ini menyeret sorotan tajam kepada Balai Pelaksana Jalan Nasional (BPJN) Sulawesi Utara, khususnya Kepala Balai, yang dinilai gagal menjalankan kepemimpinan dan tanggung jawab atas pengelolaan anggaran negara.
Proyek Rumbia–Buyat I dan Temuan BPK
Proyek preservasi ruas jalan Rumbia–Buyat I yang dikerjakan oleh PT. Nikita Raya pada tahun 2014–2015 menjadi sorotan karena kualitas pekerjaan tidak sesuai spesifikasi teknis.
BPK RI kemudian melakukan audit pada 2017 dan menemukan adanya kelebihan pembayaran serta kekurangan volume pekerjaan yang menimbulkan kerugian negara Rp2,5 miliar.
Rekomendasi BPK jelas: kerugian negara tersebut harus segera dikembalikan ke kas negara paling lambat 60 hari setelah laporan diterima. Namun, hingga 2025 kewajiban itu belum juga dipenuhi.
PT. Nikita Raya adalah perusahaan kontraktor lokal yang kerap mengerjakan paket pekerjaan jalan nasional di wilayah Sulawesi Utara. Sejumlah rekam jejak kontraknya tercatat dalam berbagai paket preservasi jalan dan pembangunan infrastruktur di bawah Kementerian PUPR.
Namun, nama perusahaan ini tidak asing dalam catatan investigasi publik. Beberapa proyek sebelumnya juga kerap disoroti lantaran dugaan kualitas pengerjaan yang rendah serta dugaan penyimpangan dalam pelaksanaan kontrak.
Kasus Rumbia–Buyat I hanyalah salah satu dari catatan panjang yang semakin mempertebal keraguan publik terhadap kapasitas perusahaan ini.
Hingga kini, Kepala Balai BPJN Sulut tidak mampu memastikan rekomendasi BPK dilaksanakan. Aktivis anti-korupsi menilai hal ini bukan sekadar kelalaian administratif, melainkan indikasi lemahnya integritas pimpinan dalam mengawal akuntabilitas APBN.
“Kepala Balai sudah gagal. Kalau hanya urusan pengembalian temuan saja tidak bisa diselesaikan, bagaimana mengawasi proyek-proyek bernilai ratusan miliar?”, kritik salah satu pemerhati.
Sorotan juga mengarah pada Kasatker Wilayah I dan PPK yang seharusnya berada di garda terdepan dalam menyelesaikan permasalahan kontrak. Kedua pejabat ini dinilai membiarkan kasus berlarut-larut hingga delapan tahun tanpa solusi.
Kondisi Ruas Jalan Jadi Bukti Nyata
Hasil pemantauan lapangan menunjukkan kondisi ruas Rumbia–Buyat I kini semakin rusak. Retakan, lubang dan permukaan yang tidak rata menjadi pemandangan sehari-hari. Padahal, proyek ini awalnya ditujukan untuk meningkatkan konektivitas wilayah dan mendukung perekonomian lokal.
Kondisi ini memperlihatkan bahwa proyek bukan hanya gagal dari sisi administrasi keuangan, tetapi juga gagal memberikan manfaat infrastruktur kepada masyarakat.
Aktivis dan pemerhati anti-korupsi Sulut kini menuntut langkah tegas :
- Kementerian PUPR segera mencopot Kepala Balai BPJN Sulut karena gagal mengawal temuan BPK.
- Kasatker dan PPK diminta bertanggung jawab penuh atas keterlambatan pengembalian kerugian negara.
- APH (Aparat Penegak Hukum) didesak segera menyidik kasus ini, termasuk kemungkinan adanya pembiaran yang dapat dikategorikan tindak pidana korupsi.
- PT. Nikita Raya harus dimasukkan dalam daftar hitam (blacklist) penyedia jasa konstruksi apabila terbukti berulang kali bermasalah dalam pelaksanaan kontrak.
Dasar Hukum yang Tegas
Kasus ini sejalan dengan sejumlah aturan perundang-undangan yang relevan:
- UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara: mewajibkan tindak lanjut rekomendasi BPK paling lambat 60 hari.
- UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara: pejabat negara bertanggung jawab pribadi atas kerugian negara karena kelalaian atau perbuatan melawan hukum.
- UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor: penyalahgunaan kewenangan yang merugikan negara dapat dipidana.
- Perpres No. 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah: mengatur sanksi administratif hingga pencantuman dalam daftar hitam bagi kontraktor yang wanprestasi.
Mandeknya pengembalian temuan Rp2,5 miliar ini memperlihatkan adanya kegagalan sistemik dalam tata kelola proyek di BPJN Sulawesi Utara. Publik kini menunggu: apakah Kementerian PUPR berani mengambil langkah tegas mencopot Kepala Balai dan memberi sanksi pada PT. Nikita Raya ataukah kasus ini kembali dibiarkan hingga membusuk tanpa penyelesaian.
Yang jelas, setiap hari keterlambatan bukan hanya mencederai keuangan negara, tetapi juga menurunkan kepercayaan publik terhadap pemerintah pusat dalam mengelola pembangunan infrastruktur di daerah.