KABARREPUBLIK.ID — Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) sejatinya dibentuk sebagai mesin penggerak ekonomi desa dan instrumen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Namun realitas di lapangan menunjukkan wajah berbeda; beberapa BUMDes justru terperosok dalam praktik maladministrasi dan korupsi yang mencoreng tujuan awal pendiriannya.
Lemahnya transparansi dan akuntabilitas pengurus menjadi masalah klasik yang terus berulang. Laporan keuangan yang seharusnya terbuka untuk publik seringkali disembunyikan atau dibuat sekadarnya.
Kondisi ini membuka ruang selebar-lebarnya bagi penyalahgunaan dana desa, sekaligus memicu kecurigaan masyarakat terhadap pengurus hingga pemerintah desa.
Celakanya, praktik tertutup ini kerap dibiarkan tanpa koreksi berarti. Masyarakat yang mempertanyakan aliran dana kerap tidak mendapat jawaban yang layak, seolah BUMDes adalah milik segelintir orang, bukan milik desa.
Ketertutupan semacam ini hanya mempertebal dugaan bahwa BUMDes mulai bergeser dari badan usaha publik menjadi ‘kerajaan kecil’ yang dikelola tanpa kontrol.
Sumber masalah lain adalah rendahnya kapasitas SDM pengurus BUMDes. Minimnya pengalaman dan lemahnya pemahaman manajerial membuat banyak keputusan usaha diambil tanpa perhitungan matang, membuka lebar peluang kekeliruan dalam menjalankan prosedur maupun penyalahgunaan wewenang.
Alih-alih menjadi motor pemberdayaan, BUMDes justru stagnan, bahkan merugi karena salah urus. Namun persoalan paling serius terletak pada pengawasan pemerintah daerah dan instansi terkait.
Pengawasan harus ketat dan rutin, Bukan hanya menjadi formalitas. evaluasi mendalam dan tindakan tegas, agar kesalahan tidak terus berulang, dan praktek korupsi tidak tumbuh subur.
Partisipasi masyarakat pun harus diberdayakan. jika pemerintah benar-benar berkomitmen, dengan melibatkan masyarakat dapat menjadi kontrol sosial paling efektif untuk menjaga BUMDes tetap akuntabel. Tetapi, Ketika suara masyarakat diabaikan, maka yang terjadi adalah hilangnya kepercayaan publik terhadap institusi desa.
Pemerintah daerah pun harus tegas dalam memberikan sanksi. Sebab, Tanpa tindakan tegas, baik sanksi administratif maupun pidana maka para pelaku penyalahgunaan kekuasaan takkan pernah jera. Dengan Ketegasan, akan memberi pesan bahwa korupsi di tingkat desa tidak bisa dinegosiasikan.
Terakhir, maladministrasi dan korupsi dalam pengelolaan BUMDes bukan sekadar masalah teknis pengelolaan, tetapi masalah serius yang mengancam keberlangsungan pembangunan desa. BUMDes harus menjadi sumber manfaat dan kesejahteraan, bukan menjadi mesin penghisap uang publik untuk kepentingan pribadi.
Jika penyimpangan hanya di biarkan, maka BUMDes tidak lebih dari proyek gagah-gagahan yang hanya menguntungkan segelintir orang, sementara masyarakat desa yang menjadi alasan kehadiran BUMDes, justru menjadi pihak yang paling dirugikan, Wallaahu a’lam bis-sawab.
Penulis : Supri Setiawan (Mahasiswa S1 IAIN Sultan Amai Gorontalo).


