KABARREPUBLIK.ID – Partai NasDem dan PAN menonaktifkan sejumlah kadernya yang duduk di DPR RI setelah menuai kontroversi. Nama-nama yang ikut dinonaktifkan antara lain Ahmad Sahroni (NasDem), Nafa Urbach (NasDem), Eko Patrio (PAN) dan Uya Kuya (PAN). Partai Golkar juga menjatuhkan sanksi serupa kepada Adies Kadir.
Pandangan Formappi
Direktur Eksekutif Formappi, Lucius Karus, menilai keputusan partai sebagai reaksi cepat terhadap tekanan publik. Ia menyebut pernyataan dan tindakan kelima anggota DPR itu memicu kemarahan masyarakat karena dinilai tidak empatik.
Meski nonaktif, kelimanya tetap menerima gaji dan tunjangan karena aturan Pergantian Antarwaktu (PAW) tidak berlaku.
“Anggota nonaktif tetap mendapatkan hak-hak mereka walau tidak bekerja”, kata Lucius, Senin (1/9/2025).
Celah Hukum dalam UU MD3
Lucius menjelaskan istilah ‘nonaktif’ tidak tercantum dalam UU MD3 Nomor 17 Tahun 2014 sebagai dasar PAW. Dengan demikian, kelima anggota DPR hanya bebas dari tugas sementara tanpa kehilangan hak keuangan dan administratif.
“Pasal 80 UU MD3 menegaskan hak anggota DPR, termasuk hak keuangan”, tegasnya.
Strategi Politik Redam Publik
Menurut Lucius, penonaktifan bukan bentuk sanksi melainkan strategi partai untuk menenangkan publik. Ia bahkan menduga partai hanya ingin menyembunyikan kadernya sementara.
“Bisa jadi setelah situasi tenang, kelima anggota ini akan diaktifkan kembali”, ujarnya.
Jika hal itu benar terjadi, Lucius menilai partai telah mengabaikan tuntutan publik.
“Kalau fraksi menghidupkan kembali kader yang sudah membuat rakyat marah, artinya mereka tidak serius menjalankan aspirasi publik”, ungkapnya.
Rentetan Kontroversi
Sejumlah sikap anggota DPR itu sebelumnya menuai kritik. Ahmad Sahroni menyebut pihak yang ingin membubarkan DPR sebagai ‘orang tolol sedunia’.
Eko Patrio dan Uya Kuya dikritik karena berjoget saat Presiden Prabowo Subianto berpidato di sidang tahunan MPR. Sementara Nafa Urbach menuai sorotan ketika meminta tunjangan rumah karena macet di Bintaro.
Harapan Publik untuk Sanksi Tegas
Lucius menilai publik menginginkan sanksi yang lebih keras. Menurutnya, nonaktif hanya menjadi langkah defensif partai untuk meredakan amarah sesaat.
“Kalau partai mengakui kesalahan kadernya, seharusnya mereka memberhentikan, bukan hanya meliburkan sementara”, pungkasnya.














